HAKEKAT DEMOKRASI
Pendahuluan:
Ibnu Taimiyah berkata; Para fuqokhaa (akhli fiqih) berkata; nama itu ada tiga macam:
Pertama, nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui syariat, seperti sholat dan dzakat.
Kedua, nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui bahasa, seperti; matahari dan bulan.
Ketiga, adalah nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui kebiasaan, seperti; kata ‘segenggam’ dan kata ‘baik’.
Pendahuluan:
Ibnu Taimiyah berkata; Para fuqokhaa (akhli fiqih) berkata; nama itu ada tiga macam:
Pertama, nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui syariat, seperti sholat dan dzakat.
Kedua, nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui bahasa, seperti; matahari dan bulan.
Ketiga, adalah nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui kebiasaan, seperti; kata ‘segenggam’ dan kata ‘baik’.
Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
‘Dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik’. (Majmu’ Fatawa XIII / 82). Dan perkataan ini beliau ulang-ulang dalam beberapa tempat diantaranya pada Majmu’ Fatawa VII / 286 dan jilid IX / 235.
Karena kata Demokrasi ini adalah kata yang tidak dijelaskan dalam Syariat dan juga kata yang tidak dikenal dalam bahasa Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya harus dikembalikan kepada pemilik bahasa dan para pencetusnya. Dalam hal ini Ibnul Qoyyim mengatakan dalam Ahkamul Mufti; Seorang Mufti tidak diperbolehkan berfatwa dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiat dan yang lainnya yang berkaitan dengan kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami kata-kata tersebut tanpa mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya, sehingga kata-kata tersebut dipahami sebagaimana apa yang biasa mereka gunakan meskipun bertentangan dengan hakekat asalnya. Kalau ia tidak melakukannya, maka ia akan sesat dan menyesatkan. (A’lamul Muwaqqi’in IV / 228).
Ini semua berkaitan dengan wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah Demokrasi untuk mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud Demokrasi adalah Syuro, atau yang dimaksud adalah aktivitas politik, atau nama-nama yang lain yang akan mengacaukan hakekatnya dan kemudian mengacaukan hukumnya.
Hakekat Demokrasi:
‘Dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik’. (Majmu’ Fatawa XIII / 82). Dan perkataan ini beliau ulang-ulang dalam beberapa tempat diantaranya pada Majmu’ Fatawa VII / 286 dan jilid IX / 235.
Karena kata Demokrasi ini adalah kata yang tidak dijelaskan dalam Syariat dan juga kata yang tidak dikenal dalam bahasa Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya harus dikembalikan kepada pemilik bahasa dan para pencetusnya. Dalam hal ini Ibnul Qoyyim mengatakan dalam Ahkamul Mufti; Seorang Mufti tidak diperbolehkan berfatwa dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiat dan yang lainnya yang berkaitan dengan kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami kata-kata tersebut tanpa mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya, sehingga kata-kata tersebut dipahami sebagaimana apa yang biasa mereka gunakan meskipun bertentangan dengan hakekat asalnya. Kalau ia tidak melakukannya, maka ia akan sesat dan menyesatkan. (A’lamul Muwaqqi’in IV / 228).
Ini semua berkaitan dengan wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah Demokrasi untuk mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud Demokrasi adalah Syuro, atau yang dimaksud adalah aktivitas politik, atau nama-nama yang lain yang akan mengacaukan hakekatnya dan kemudian mengacaukan hukumnya.
Hakekat Demokrasi:
Karena demokrasi adalah istilah politik Barat, maka berdasarkan Pendahuluan diatas harus dikembalikan kepada pemilik istilah tersebut untuk mengetahui artinya yang akan menentukan hukumnya. Arti Demokrasi menurut para penganutnya adalah: kedaulatan rakyat. Dan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas tidak dikendalikan oleh kekuasaan apapun selainnya. Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini kadang rakyat mewakilkannya kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan. Disebutkan dalam Mausu’atus siyasah: semua negara Demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu, bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya, pada intinya Demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan ditangan rakyat. (Mausu’atus siyasah tulisan DR. Abdul Wahab Al-Kiyali II / 756).
Beliau berkata tentang Demokrasi perwakilan: ‘Yaitu bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatas namakan rakyat. Maka parlemen dalam Demokrasi perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah dari Inggris dan Perancis kemudian berpindah ke negara-negara lain. (Mausu’atus siyasah tulisan DR. Abdul Wahab Al-Kiyali II / 757).
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa Demokrasi itu intinya adalah: kedaulatan rakyat. Dan bahwa kedaulatan itu inti dasarnya adalah hak mutlak dalam membuat perundang-undangan yang tidak tunduk kepada kekuasaan apapun selain padanya.
Dan berikut ini beberapa pengertian Kedaulatan:
Abdul Hamid Mutawali, dosen perundang-undangan berkata; Demokrasi adalah perundang-undangan yang dibangun diatas prinsip kedaulatan rakyat, sedangkan Kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah; kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya. (Andzimatul Hukmi Fid Dualin Namiyah oleh Dr Mutawali cet. 1985 hal. 625).
Yosef Frankl, seorang politikus Barat berkata, yang dimaksud dengan Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya atau yang berada dibelakangnya yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan inilah arti dasar yang tidak pernah mengalami perubahan selama ini.
Sedangkan definisi Kedaulatan menurut John Bodn, pada tahun 1576 M yang intinya; bahwa Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang berada diatas penduduk dan rakyat yang tidak dibatasi oleh Undang-Undang. Definisi kedaulatan ini tetap benar meskipun arti Kedaulatan yang dimaksudkan oleh Bodn adalah pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah kepada rakyat. (Al-Alaqot Ad-Dauliyah, tulisan Yosef Frankin terbitan Tihamah 1984 M / 25).
Sejarah Perkembangan Demokrasi Modern
Demokasi bermula dari revolusi Perancis tahun 1789 M meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran Demokrasi telah tersebar sebelum terjadinya revolusi Perancis selama beberapa puluh tahun, yaitu dalam tulisan-tulisan John Lock. Mutaskyu, Jan Jack, orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar kedaulatan rakyat.
Hal itu sebagai reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa selama kurang lebih 10 abad. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa para raja itu menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Allah. Dengan demikian maka para raja itu mempunyai kekuasaan mutlak yang diperkuat dengan dukungan dari para Paus. Rakyat Eropa pun sangat menderita lantaran sistem ini dan kedaulatan rakyat ketika itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para Paus yang berkuasa atas dasar perwakilan Tuhan sebagaimana pengakuan mereka. Dengan demikian pada asalnya Demokrasi itu adalah penentangan terhadap kekuasaan Allah untuk memberikan segala kekuasaan kepada manusia untuk membuat peraturan hidup dan perundang-undangannya sendiri tanpa batas apapun
Dan perpindahan dari pemikiran kekuasaan berdasarkan perwakilan Tuhan menuju pemikiran kedaulatan rakyat tidaklah berjalan dengan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah yang sangat dahsyat di dunia, yaitu yang dikenal dengan revolusi Perancis pada tahun 1789 M yang mana motto ketika itu adalah; Gantunglah Raja Terakhir dengan Usus Pendeta Terakhir. DR. Syafar Al-Hawali berkata; Revolusi itu melahirkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali di dalam sejarah Eropa Nasrani sebuah negara Republik Sekuler yang berfalsafah kekuasaan atas nama Rakyat dan bukan atas nama Allah, bebas beragama sebagai ganti doktrin Katolik kebebasan setiap orang sebagai ganti dari ikatan perilaku keagamaan dan undang-udang positif sebagai ganti dari ketetapan-ketetapan Gereja (Al Imaniyah, tulisan DR. Staffar Al-Hawali, hal. 178, terbitan Universitas Umul Qurro th 1402 H).
Pemikiran kedaulatan rakyat dan haknya dalam membuat undang-undang ini nampak jelas dalam prinsip-prinsip revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal ke 6 dari proklamasi hak-hak asasi manusia pada tahuan 1789 M tertera bahwa; ‘Undang-Undang adalah manisfestasi dari kehendak rakyat’, artinya bahwa undang-undang itu bukanlah manifestasi dari kehendak Gereja atau kehendak Allah. Dalam proklamasi hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang Perancis pada tahun 1793 M Pasal ke 25 menyatrakan bahwa; ‘Kedaulatan Terpusat pada Rakyat’. (Dinukil dari Mabadi’ul Qonunid Dusturi tulisan DR. As Sayid Shobri, hal. 25). Oleh karena itu, DR Abdul Hamid Mutawali mengatakan; ‘Prinsip-prinsip revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip Demokrasi Barat. Andzimatul Hukmi Fid Duwalin Namiyah, tulisan DR Mutawali hal. 30).
Hukum Demokrasi
Yang menjadi patokan hukum Demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa ada batasan apapun.
Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan membuat undang-undang semaunya tanpa ada seorangpun yang berhak untuk mengkritisinya. Dan hal semacam ini sesungguhnya merupakan sifat Allah sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesunguhnya Allah menetapkan hukum menurut kehendaknya, tidak ada yang dapat menolak ketetapan Nya” (Ar Ra’d : 41)
Dan firman-Nya lagi:
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut yang dikehendaki Nya” (Al Maa-idah : 1).
Dan firman-Nya lagi:
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (Al Hajj : 14).
Kami ringkaskan dari penjelasan diatas bahwa Demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang. Dengan demikian maka Demokrasi menjadikan manusia sebagai Rabb (Tuhan) selain Allah, dan menjadikannya (manusia) sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Dan perbuatan ini adalah Kuffur Akbar yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya. Dengan ungkapan yang lebih detail lagi adalah bahwa Rabb (Tuhan) baru dalam Demokrasi adalah kemauan manusia, ia membuat undang-undang sesuai dengan pemikiran dan kemauannya tanpa ada pembatas apapun.
Allah SWT berfirman:
“Terangkanlah kepada Ku, tentang orang yang menjadikan keinginannuya sebagai Illahnya (Tuhannya). Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” (Al Furqaan : 43-44).
Maka hal ini berarti menjadikan Demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah rakyat, maka jelas ini bertentangan dengan Dinul Islam yang menegaskan bahwa pemegang kedaulatan adalah Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Penguasa itu Allah tabaroka wata’ala”.
(Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitabul Adab dalam kitab Sunan beliau dengan sanad shahih).
Ketika menerangkan Penuhanan manusia di dalam Demokrasi Ustadz Abul A’la Al-Maududi berkata: “Dasar-dasar kebudayaan Barat sesungguhnya kebudayaan modern yang menjadi landasan peraturan hidup pada masa sekarang ini, dengan berbagai macam cabang-cabangnya baik akidah, akhlak, perekonomian, politik dan intelektual, berfokus pada tiga pokok yaitu, Prinsip-prinsip pokok berikut:
1. Sekulerisme
2. Nasionalisme, dan
3. Demokrasi
(Sampai beliau berkata) adapun prinsip ketiga adalah Demokrasi atau Penuhanan terhadap manusia. Dengan menggabungkan dua prinsip sebelumnya maka sempurnalah gambar bencana dan kelelahan-kelelahan dunia ini. Telah kukatakan tadi bahwa pengertian Demokrasi dalam kebudayaa modern adalah berkuasanya rakyat, artinya setiap penduduk negara merdeka pada segala hal yang berkaitan dengan merealisasikan kemaslahatan sosial mereka, dan perundang-undangan negara tersebut haruslah mengikuti keinginan mereka. (Sampai beliau mengatakan): Jika kita perhatikan prinsip tersebut sekarang kita dapatkan bahwa Sekulerisme telah melepaskan manusia dari peribadahan, ketaatan dan ketakutan kepada Allah serta melepaskan dari ikatan-ikatan akhlak yang telah ditetapkan dan melepaskan tali belenggunya serta menjadikan mereka hamba diri mereka sendiri tanpa pertanggung jawab dihadapan siapapun.
Kemudian datang Nasionalisme, untuk menuangkan kepada mereka khomer individualis, kesombongan, kecongkakan dan meremehkan orang lain. Kemudian, terakhir datanglah Demokrasi yang menundukkan manusia ini - setelah membebaskan dirinya dari belenggu yang mengikatnya lalu menjadi tawanan bagi hawa nafsunya dan tenggelam dalam individualisme- diatas singgasana Ketuhanan.
Maka tunduklah segala kekuasaan perundang-undangan dan sarana pemerintahan kepadanya untuk mencapai segala sesuatu yang ia inginkan. (Kemudian Al-Maududi mengatakan) Dan saya katakan kepada Umat Islam dengan terus terang sesungguhnya Demokrasi, Nasionalisme, dan Sekuler bertentangan dengan agama dan akidah yang kalian yakini dan jika kalian tunduk kepadanya maka benar-benar kalian telah meninggalkan Kitabullah dibelakang kalian dan jika kalian ikut serta dalam menegakkannya atau dalam melanggengkannya (yakni Demokrasi, Nasionalis dan Sekuler) maka berarti kalian telah mengkhianati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada kalian. (Sampai beliau mengatakan) Maka selama sistem ini masih ada maka kami menganggap bahwa Islam itu tidak ada dan jika Islam itu ada maka tidak ada tempat bagi sistem ini. (dari buku: AL ISLAM WAL MADANIYATUL HADITSAH tulisan Al-Maududi yang diterjemahkan oleh Khalil Al-Hamidi).
Termasuk perbuatan memperTuhankan manusia ialah mengangkat Nabi (Rasul) menjadi anak Allah (Maha Suci Allah dari perbuatan ini).
Kemusyrikan ini diamalkan oleh orang Yahudi yang mengangkat Uzair sebagai anak Allah dan orang Nasrani yang mengangkat Nabi Isa AS menjadi anak Allah SWT.
Hal ini diterangkan oleh Allah dalam firman Nya:
“Orang-orang Yahudi berkata; Uzair itu putera Allah, dan orang orang Nasrani berkata; ‘Almasih itu putera Allah’, demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling seperti itu”. (At Taubah : 30).
Dan firman Nya lagi:
“Sesungguhnya telah Kafirlah orang-orang yang berkata; ‘Sesungguhnya Allah itu adalah Almasih putera Maryam’. Katakanlah; ‘Maka siapakah gerangan yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia hendak membinasakan Almasih putera Maryam itu beserta ibunya, dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?’, kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendaki Nya dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al Maa’idah : 17)
Dan firman-Nya lagi:
“Sesungguhnya telah Kafirlah, orang-orang yang berkata; ‘Sesungguhnya Allah ialah Almasih putera Maryam’, padahal Almasih sendiri berkata; ‘hai bani israil beribadahlah kepada Allah Tuhanku dan Tuhan Mu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongpun”. (Al Maaidah : 72).
Firman-Nya lagi:
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan; ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak di ibadahi selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang Kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”. (Al Maaidah: 73).
Keterangan:
Dari ayat-ayat tersebut diatas jelas bahwa mengangkat seorang Nabi sebagai anak Tuhan atau kederajat keTuhanan adalah merupakan praktek mempertuhankan Manusia dan hukumnya Syirik besar.
Dan, praktek kemusyrikan ini juga diingkari oleh Nabi Isa a.s. sebagaimana diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia; ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah’. Isa menjawab: ‘Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. (Al Maaidah : 116)
Dan firman-Nya lagi:
“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya), yaitu: ‘Beribadahlah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasai mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” (Al Maaidah : 117)
Demikanlah praktek-praktek yang mempertuhankan sesama manusia yang harus diwaspadai agar supaya aqidah dan tauhid Islam kita benar-benar bersih sehingga semua amal kita diterima oleh Allah SWT.
Amalan mempertuhankan manusia semacam ini dilarang keras oleh Allah SWT. Yang tersebut dalam firman-Nya:
“Katakanlah; ‘Hai ahli kitab, marilah berpegang kepada sesuatu kalimat (ketatapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita ibadahi kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain menjadi Tuhan selain Allah jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka; ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslimin (yang berserah diri kepadaAllah)”. (Ali Imraan : 64)
Beliau berkata tentang Demokrasi perwakilan: ‘Yaitu bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatas namakan rakyat. Maka parlemen dalam Demokrasi perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah dari Inggris dan Perancis kemudian berpindah ke negara-negara lain. (Mausu’atus siyasah tulisan DR. Abdul Wahab Al-Kiyali II / 757).
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa Demokrasi itu intinya adalah: kedaulatan rakyat. Dan bahwa kedaulatan itu inti dasarnya adalah hak mutlak dalam membuat perundang-undangan yang tidak tunduk kepada kekuasaan apapun selain padanya.
Dan berikut ini beberapa pengertian Kedaulatan:
Abdul Hamid Mutawali, dosen perundang-undangan berkata; Demokrasi adalah perundang-undangan yang dibangun diatas prinsip kedaulatan rakyat, sedangkan Kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah; kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya. (Andzimatul Hukmi Fid Dualin Namiyah oleh Dr Mutawali cet. 1985 hal. 625).
Yosef Frankl, seorang politikus Barat berkata, yang dimaksud dengan Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya atau yang berada dibelakangnya yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan inilah arti dasar yang tidak pernah mengalami perubahan selama ini.
Sedangkan definisi Kedaulatan menurut John Bodn, pada tahun 1576 M yang intinya; bahwa Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang berada diatas penduduk dan rakyat yang tidak dibatasi oleh Undang-Undang. Definisi kedaulatan ini tetap benar meskipun arti Kedaulatan yang dimaksudkan oleh Bodn adalah pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah kepada rakyat. (Al-Alaqot Ad-Dauliyah, tulisan Yosef Frankin terbitan Tihamah 1984 M / 25).
Sejarah Perkembangan Demokrasi Modern
Demokasi bermula dari revolusi Perancis tahun 1789 M meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar pemikiran Demokrasi telah tersebar sebelum terjadinya revolusi Perancis selama beberapa puluh tahun, yaitu dalam tulisan-tulisan John Lock. Mutaskyu, Jan Jack, orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar kedaulatan rakyat.
Hal itu sebagai reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa selama kurang lebih 10 abad. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa para raja itu menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Allah. Dengan demikian maka para raja itu mempunyai kekuasaan mutlak yang diperkuat dengan dukungan dari para Paus. Rakyat Eropa pun sangat menderita lantaran sistem ini dan kedaulatan rakyat ketika itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para Paus yang berkuasa atas dasar perwakilan Tuhan sebagaimana pengakuan mereka. Dengan demikian pada asalnya Demokrasi itu adalah penentangan terhadap kekuasaan Allah untuk memberikan segala kekuasaan kepada manusia untuk membuat peraturan hidup dan perundang-undangannya sendiri tanpa batas apapun
Dan perpindahan dari pemikiran kekuasaan berdasarkan perwakilan Tuhan menuju pemikiran kedaulatan rakyat tidaklah berjalan dengan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah yang sangat dahsyat di dunia, yaitu yang dikenal dengan revolusi Perancis pada tahun 1789 M yang mana motto ketika itu adalah; Gantunglah Raja Terakhir dengan Usus Pendeta Terakhir. DR. Syafar Al-Hawali berkata; Revolusi itu melahirkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali di dalam sejarah Eropa Nasrani sebuah negara Republik Sekuler yang berfalsafah kekuasaan atas nama Rakyat dan bukan atas nama Allah, bebas beragama sebagai ganti doktrin Katolik kebebasan setiap orang sebagai ganti dari ikatan perilaku keagamaan dan undang-udang positif sebagai ganti dari ketetapan-ketetapan Gereja (Al Imaniyah, tulisan DR. Staffar Al-Hawali, hal. 178, terbitan Universitas Umul Qurro th 1402 H).
Pemikiran kedaulatan rakyat dan haknya dalam membuat undang-undang ini nampak jelas dalam prinsip-prinsip revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal ke 6 dari proklamasi hak-hak asasi manusia pada tahuan 1789 M tertera bahwa; ‘Undang-Undang adalah manisfestasi dari kehendak rakyat’, artinya bahwa undang-undang itu bukanlah manifestasi dari kehendak Gereja atau kehendak Allah. Dalam proklamasi hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang Perancis pada tahun 1793 M Pasal ke 25 menyatrakan bahwa; ‘Kedaulatan Terpusat pada Rakyat’. (Dinukil dari Mabadi’ul Qonunid Dusturi tulisan DR. As Sayid Shobri, hal. 25). Oleh karena itu, DR Abdul Hamid Mutawali mengatakan; ‘Prinsip-prinsip revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip Demokrasi Barat. Andzimatul Hukmi Fid Duwalin Namiyah, tulisan DR Mutawali hal. 30).
Hukum Demokrasi
Yang menjadi patokan hukum Demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa ada batasan apapun.
Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan membuat undang-undang semaunya tanpa ada seorangpun yang berhak untuk mengkritisinya. Dan hal semacam ini sesungguhnya merupakan sifat Allah sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesunguhnya Allah menetapkan hukum menurut kehendaknya, tidak ada yang dapat menolak ketetapan Nya” (Ar Ra’d : 41)
Dan firman-Nya lagi:
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut yang dikehendaki Nya” (Al Maa-idah : 1).
Dan firman-Nya lagi:
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (Al Hajj : 14).
Kami ringkaskan dari penjelasan diatas bahwa Demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang. Dengan demikian maka Demokrasi menjadikan manusia sebagai Rabb (Tuhan) selain Allah, dan menjadikannya (manusia) sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Dan perbuatan ini adalah Kuffur Akbar yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya. Dengan ungkapan yang lebih detail lagi adalah bahwa Rabb (Tuhan) baru dalam Demokrasi adalah kemauan manusia, ia membuat undang-undang sesuai dengan pemikiran dan kemauannya tanpa ada pembatas apapun.
Allah SWT berfirman:
“Terangkanlah kepada Ku, tentang orang yang menjadikan keinginannuya sebagai Illahnya (Tuhannya). Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” (Al Furqaan : 43-44).
Maka hal ini berarti menjadikan Demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah rakyat, maka jelas ini bertentangan dengan Dinul Islam yang menegaskan bahwa pemegang kedaulatan adalah Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Penguasa itu Allah tabaroka wata’ala”.
(Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitabul Adab dalam kitab Sunan beliau dengan sanad shahih).
Ketika menerangkan Penuhanan manusia di dalam Demokrasi Ustadz Abul A’la Al-Maududi berkata: “Dasar-dasar kebudayaan Barat sesungguhnya kebudayaan modern yang menjadi landasan peraturan hidup pada masa sekarang ini, dengan berbagai macam cabang-cabangnya baik akidah, akhlak, perekonomian, politik dan intelektual, berfokus pada tiga pokok yaitu, Prinsip-prinsip pokok berikut:
1. Sekulerisme
2. Nasionalisme, dan
3. Demokrasi
(Sampai beliau berkata) adapun prinsip ketiga adalah Demokrasi atau Penuhanan terhadap manusia. Dengan menggabungkan dua prinsip sebelumnya maka sempurnalah gambar bencana dan kelelahan-kelelahan dunia ini. Telah kukatakan tadi bahwa pengertian Demokrasi dalam kebudayaa modern adalah berkuasanya rakyat, artinya setiap penduduk negara merdeka pada segala hal yang berkaitan dengan merealisasikan kemaslahatan sosial mereka, dan perundang-undangan negara tersebut haruslah mengikuti keinginan mereka. (Sampai beliau mengatakan): Jika kita perhatikan prinsip tersebut sekarang kita dapatkan bahwa Sekulerisme telah melepaskan manusia dari peribadahan, ketaatan dan ketakutan kepada Allah serta melepaskan dari ikatan-ikatan akhlak yang telah ditetapkan dan melepaskan tali belenggunya serta menjadikan mereka hamba diri mereka sendiri tanpa pertanggung jawab dihadapan siapapun.
Kemudian datang Nasionalisme, untuk menuangkan kepada mereka khomer individualis, kesombongan, kecongkakan dan meremehkan orang lain. Kemudian, terakhir datanglah Demokrasi yang menundukkan manusia ini - setelah membebaskan dirinya dari belenggu yang mengikatnya lalu menjadi tawanan bagi hawa nafsunya dan tenggelam dalam individualisme- diatas singgasana Ketuhanan.
Maka tunduklah segala kekuasaan perundang-undangan dan sarana pemerintahan kepadanya untuk mencapai segala sesuatu yang ia inginkan. (Kemudian Al-Maududi mengatakan) Dan saya katakan kepada Umat Islam dengan terus terang sesungguhnya Demokrasi, Nasionalisme, dan Sekuler bertentangan dengan agama dan akidah yang kalian yakini dan jika kalian tunduk kepadanya maka benar-benar kalian telah meninggalkan Kitabullah dibelakang kalian dan jika kalian ikut serta dalam menegakkannya atau dalam melanggengkannya (yakni Demokrasi, Nasionalis dan Sekuler) maka berarti kalian telah mengkhianati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada kalian. (Sampai beliau mengatakan) Maka selama sistem ini masih ada maka kami menganggap bahwa Islam itu tidak ada dan jika Islam itu ada maka tidak ada tempat bagi sistem ini. (dari buku: AL ISLAM WAL MADANIYATUL HADITSAH tulisan Al-Maududi yang diterjemahkan oleh Khalil Al-Hamidi).
Termasuk perbuatan memperTuhankan manusia ialah mengangkat Nabi (Rasul) menjadi anak Allah (Maha Suci Allah dari perbuatan ini).
Kemusyrikan ini diamalkan oleh orang Yahudi yang mengangkat Uzair sebagai anak Allah dan orang Nasrani yang mengangkat Nabi Isa AS menjadi anak Allah SWT.
Hal ini diterangkan oleh Allah dalam firman Nya:
“Orang-orang Yahudi berkata; Uzair itu putera Allah, dan orang orang Nasrani berkata; ‘Almasih itu putera Allah’, demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling seperti itu”. (At Taubah : 30).
Dan firman Nya lagi:
“Sesungguhnya telah Kafirlah orang-orang yang berkata; ‘Sesungguhnya Allah itu adalah Almasih putera Maryam’. Katakanlah; ‘Maka siapakah gerangan yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia hendak membinasakan Almasih putera Maryam itu beserta ibunya, dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?’, kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendaki Nya dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al Maa’idah : 17)
Dan firman-Nya lagi:
“Sesungguhnya telah Kafirlah, orang-orang yang berkata; ‘Sesungguhnya Allah ialah Almasih putera Maryam’, padahal Almasih sendiri berkata; ‘hai bani israil beribadahlah kepada Allah Tuhanku dan Tuhan Mu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongpun”. (Al Maaidah : 72).
Firman-Nya lagi:
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan; ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak di ibadahi selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang Kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”. (Al Maaidah: 73).
Keterangan:
Dari ayat-ayat tersebut diatas jelas bahwa mengangkat seorang Nabi sebagai anak Tuhan atau kederajat keTuhanan adalah merupakan praktek mempertuhankan Manusia dan hukumnya Syirik besar.
Dan, praktek kemusyrikan ini juga diingkari oleh Nabi Isa a.s. sebagaimana diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia; ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah’. Isa menjawab: ‘Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. (Al Maaidah : 116)
Dan firman-Nya lagi:
“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya), yaitu: ‘Beribadahlah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasai mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” (Al Maaidah : 117)
Demikanlah praktek-praktek yang mempertuhankan sesama manusia yang harus diwaspadai agar supaya aqidah dan tauhid Islam kita benar-benar bersih sehingga semua amal kita diterima oleh Allah SWT.
Amalan mempertuhankan manusia semacam ini dilarang keras oleh Allah SWT. Yang tersebut dalam firman-Nya:
“Katakanlah; ‘Hai ahli kitab, marilah berpegang kepada sesuatu kalimat (ketatapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita ibadahi kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain menjadi Tuhan selain Allah jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka; ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslimin (yang berserah diri kepadaAllah)”. (Ali Imraan : 64)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar