Dibanding dua judul tulisan saya sebelumnya, yaitu "Liberal Musuh Besar Islam" dan "Liberal Lebih Iblis daripada Iblis", maka judul tulisan saya tentang Liberal kali ini memang agak vulgar, karena memang Liberal patut ditelanjangi secara vulgar. Jujur saja, saya memang sedang membangun serangan habis-habisan terhadap pemikiran-pemikiran sesat Kaum Liberal. Kaum Liberal sudah tidak bisa lagi diajak dialog, apalagi dinasihati, karena Ulama ditantang, Agama ditentang, bahkan Kitab Suci diserang. Dan kaum Liberal ini sudah terlalu sering membuat istilah "nyeleneh" terhadap Gerakan Islam, seperti preman berjubah, puritan, radikal, ekstrimis, teroris, dan sebagainya. Kini saatnya mereka kita beri label-label yang dengannya umat Islam jadi tahu siapa dan bagaimana mereka.
LIBERAL DAN MU'TAZILAH
Kaum Liberal sering mengklaim bahwa mereka pengagum sekaligus pengikut Mu'tazilah. Kaum Liberal menganggap bahwa mereka dengan Mu'tazilah adalah kelompok yang sangat moderat, karena selalu mengedepankan nalar dan logika yang sehat. Pendapat Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an adalah "makhluq" kerap dijadikan rujukan oleh Kaum Liberal untuk menjustifikasi pendapat mereka bahwa Al-Qur'an hanya sebuah teks yang merupakan produk budaya, bahasa dan sejarah.
Padahal, konsep "memakhluqkan" Al-Qur'an milik Mu'tazilah tidak sama dengan konsep "memakhluqkan" Al-Qur'an milik Liberal, bahkan berbanding terbalik. Tatkala Mu'tazilah memakhluqkan Al-Qur'an sebagai "ciptaan", mereka menisbahkannya kepada Allah SWT, sehingga pengertiannya bahwa Al-Qur'an adalah makhluq ciptaan Allah SWT. Dasar pemikiran Mu'tazilah sangat sederhana dengan logika biasa yaitu bahwa selain Tuhan adalah makhluq, sehingga karena Al-Qur'an bukan Tuhan maka berarti ia makhluq. Dengan demikian, menurut Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an tetap datang dari Allah SWT, bukan datang dari buatan manusia.
Sedang Liberal tatkala memakhluqkan Al-Qur'an sebagai "ciptaan", mereka menisbahkannya kepada Muhammad, sehingga pengertiannya bahwa Al-Qur'an adalah makhluq ciptaan Muhammad. Dasar pemikiran Liberal tidak sederhana, tapi "ngejelimet" berbelat-belit, putar balik hujjah, bukan dengan logika tapi khayalan, kocok sana kocok sini, sehingga lebih tepat disebut sebagai "Onani Pemikiran". Puncratan onani pemikirannya pun menjijikkan yaitu bahwa "Al-Qur'an buatan manusia." Astaghfirullaah.
Jadi, jelas sekali bahwa Liberal bukan Mu'tazilah, secuil pun tidak sama dengan Mu'tazilah, bahkan terlalu "lebay" menyamakan keduanya. Mu'tazilah sepanjang zaman tetap mengagungkan Al-Qur'an sebagai "Wahyu Allah SWT", sedang Liberal secara terang-terangan menyerang dan menistakan Al-Qur'an.
Bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa "Mush-haf" Al-Qur'an yang terdiri dari kertas dan tinta memang makhluq, namun Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT tidak boleh disebut makhluq, karena itu merupakan Kalam dan Firman-Nya yang suci lagi agung. Bagi Ahlus Sunnah pendapat Mu'tazilah tentang "kemakhluqan" Al-Qur'an adalah bid'ah pemikiran, namun tidak ada Ahlus Sunnah yang mengkafirkan Mu'tazilah karena konsep tersebut. Sedang pendapat Liberal tentang "kemakhluqan" Al-Qur'an adalah "onani pemikiran" yang sesat dan menyesatkan, bahkan kafir dan keluar dari Islam.
AL-QUR'AN ADALAH TEKS ?
Menurut Kaum Liberal bahwa Al-Qur'an adalah dokumen tertulis (manuskrip) yang diwariskan Muhammad kepada umatnya, sehingga Al-Qur'an hanya merupakan "Teks" yang bisa dan harus diteliti otentisitasnya melalui penerapan metode-metode Filologi, seperti Historical Criticism, Textual Criticism, Literary Criticism, Form Criticism dan Redaction Criticism. Metodologi Filologi bagi Kaum Liberal adalah metodologi penelitian modern yang telah sukses diterapkan dalam studi kritis Bibel dan telah diakui banyak kalangan peneliti dan cendikiawan dari kalangan Yahudi, Nashrani mau pun Islam.
Masih menurut Kaum Liberal bahwa umat Islam sepatutnya mengikuti langkah Kaum Orientalis yang telah secara berani mengkritisi Bibel sebagai kitab suci mereka sendiri melalui Metodologi Hermeneutika. Kaum Liberal pun menyerukan umat Islam untuk melepaskan sikap fanatik ortodoks yang selalu menganggap Al-Qur'an sebagai kitab suci yang sangat sakral, sehingga tidak berani untuk melakukan studi kritis terhadap kitab suci. Inilah salah satu bukti "onani pemikiran" yang dilakukan kaum Liberal.
Bagi umat Islam, Al-Qur'an pada mulanya bukanlah "Teks" atau "Tulisan" tetapi merupakan "Bacaan" yang dihafal dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir. Proses pewahyuan, penyampaian, pengajaran dan periwayatan Al-Qur'an pada mulanya melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sedang penulisan Al-Qur'an hanya sebagai penunjang, itu pun pada mulanya "Tulisan" Al-Qur'an hanya bersandar kepada "Hafalan Bacaan", bukan sebaliknya.
Otentisitas Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT tidak diragukan sedikit pun. Walau pun penghimpunan penulisan Al-Qur'an secara utuh baru dilakukan di zaman Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, lalu disempurnakan zaman Sayyidina Utsman ibnu 'Affan RA, kemudian makin disempurnakan di zaman-zaman berikutnya hinga di era penerbitan dan percetakan laser sekarang ini, tapi tenggang waktu antara awal penurunan wahyu kepada Rasulullah SAW hingga penghimpunan penulisan wahyu tersebut tidak ada sedikit pun jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dari generasi ke generasi secara mutawatir, sehingga otentisitas Al-Qur'an sebagai wahyu tetap terjaga dan terpelihara. Alhamdulillaah.
Berbeda dengan Bibel misalnya, yang penghimpunan penulisannya dilaksanakan setelah ratusan tahun dari zaman Nabi 'Isa AS, dan sejak awal pewahyuan Injil kepada Nabi 'Isa AS hingga zaman penghimpunan penulisan telah terjadi jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dari generasi ke generasi. Sehingga penghimpunan penulisan Bibel hanya bersandar kepada "manuskrip" yang tertulis dalam bentuk papirus, skroll, dan sebagainya. Itulah sebabnya, penelitian manuskrip Bibel menjadi keniscayaan untuk membuktikan keasliannya. Itu pula sebabnya, kenapa para Orientalis tidak ada pilihan lain kecuali harus mengkritisi Bibel melalui Metodologi Hermeneutika untuk meneliti keasliannya.
Jadi, sumber penulisan Bibel adalah "Teks" sehingga bisa diterapkan metode-metode filologi untuk membuktikan keautentikannya, sedang sumber penulisan Al-Qur'an adalah "Bacaan" yang tidak mungkin diterapkan metode-metode filologi terhadapnya, bahkan mustahil karena keautentikan Al-Qur'an tak terbantahkan. Kesimpulannya, Hermeneutika dengan segala metode filologinya sudah tepat diterapkan dalam penelitian otentisitas Bibel yang akhirnya sukses membongkar kepalsuannya. Sedang jika Hermeneutika diterapkan terhadap Al-Qur'an maka salah alamat, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Prof. Josef van Ess, seorang Teolog di Universitas Tuebingen - Jerman : "Bahwa Hermeneutika yang berasal dari Jerman tidak ditujukan untuk kajian keislaman. Pada mulanya, ia meruapakan produk Teolog Protestan yang dipakai untuk kajian Bibel oleh Friedrich Schleiermacher, dan belakangan oleh Martin Heidedger dan Hans-Georg Gadamer dalam kajian kesusasteraan Jerman mau pun Klasik."
AL-QUR'AN PRODUK BUDAYA ?
Kaum Liberal menyatakan bahwasanya sejak awal Al-Qur'an diturunkan kepada Muhammad hingga wafatnya, selama lebih kurang 23 tahun, Al-Qur'an telah berinteraksi dengan merespon dan mengakomodir realitas dan budaya masyarakat Arab, sehingga Al-Qur' an tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan realitas dan budaya yang ada di masa itu. Karenanya, Al-Qur'an adalah "Teks" yang dilahirkan oleh realita dan diproduksi oleh budaya. Inilah bentuk lain "onani pemikiran" hasil khayalan kaum Liberal.
Andaikata Al-Qur'an produk budaya karena terbentuk dalam realitas dan budaya, maka semestinya Al-Qur'an menghalalkan apa yang dihalalkan masyarakat Arab Jahiliyyah tempat dimana Al-Qur'an diturunkan, seperti : kemusyrikan, perjudian, khamar, riba dan wa'dul Banaat (mengubur hidup-hidup anak perempuan). Namun kenyataannya, Al-Qur'an menentang dan mengharamkan itu semua. Justru masyarakat Arab Jahiliyyah memandang Al-Qur'an saat diturunkan sebagai sesuatu yang aneh dan asing, karena bertentangan dengan realita dan budaya mereka. Bahkan mereka menuduh Rasulullah SAW sebagai orang gila yang ingin melawan realita dan budaya yang sudah berurat berakar di tengah masyarakat Arab selama berabad-abad.
Jadi, Al-Qur'an bukan produk budaya Jahiliyyah atau produk budaya apa pun, karena Al-Qur'an bukan kesinambungan dari budaya mana pun ketika itu. Justru Al-Qur'an memproduk budaya baru yang mengharamkan segala bentuk kemusyrikan, kesesatan, kezaliman, kema'siatan dan kemunkaran. Al-Qur'an melahirkan budaya baru yang berakhlaqul karimah, terhormat dan bermartabat. Kesimpulannya, bukan Budaya yang jadi sumber Al-Qur'an, tapi sebaliknya justru Al-Qur'an yang jadi sumber budaya agung dan luhur. Inilah faktanya, bukan khayalan yang mendorong "onani pemikiran" sebagaimana yang dilakukan kaum Liberal.
AL-QUR'AN PRODUK BAHASA ?
Kaum Liberal berkhayal bahwa Tuhan punya bahasa tersendiri yang tidak dipahami manusia, sedang bahasa Arab adalah bahasa manusia bukan bahasa Tuhan. Lucunya, kaum Liberal sendiri tidak pernah tahu bahasa apa dan bagaimana yang mereka maksud dengan bahasa Tuhan. Lalu dari onani khayalan tersebut, kaum Liberal menyatakan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an dengan bahasa Tuhan yang tidak dipahami manusia, lalu Muhammad menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab agar dipahami oleh manusia.
Karenanya, kaum Liberal meyakini adanya intervensi bahasa manusia dalam pembentukan Al-Qur'an, apalagi penulisan Al-Qur'an dalam bentuk "Rasm Utsmani" memungkinkan dibaca dengan beberapa bacaan (qiraat), sehingga Al-Qur'an menjadi "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa tersebut, baik lisan mau pun tulisan.
Dalam aqidah umat Islam bahwasanya Allah SWT Maha Berkehendak, dan dengan bahasa mau pun tanpa bahasa, kehendak Allah SWT pasti berlaku. Allah SWT tidak membutuhkan bahasa, karena bahasa adalah makhluq ciptaan-Nya dan Allah SWT tidak bergantung kepada makhluq ciptaan-Nya. Allah SWT telah berkehendak menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab untuk menyampaikan aturan-Nya kepada umat manusia agar dipatuhi dan ditaati. Dan Al-Qur'an sejak awal diturunkan kepada Rasulullah SAW sudah berbahasa Arab sesuai dengan kehendak Allah SWT yang berada di atas segala kehendak, sehingga tidak ada intervensi bahasa manusia mana pun terhadap Al-Qur'an sebagaimana dikhayalkan kaum Liberal.
Jadi, Allah SWT lah yang telah menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab, bukan Rasulullah SAW yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, sebagaimana termaktub dalam QS.12.Yusuf : 2, QS.20.Thoha : 113, QS.39.Az-Zumar : 28, QS.41.Fushshilat : 3, QS.42.Asy-Syura : 7 dan QS.43.Az-Zukhruf : 3. Semua bahasa adalah ciptaan Allah SWT, dan Dia SWT berhak untuk menentukan bahasa mana yang dipilihnya sebagai bahasa pengantar firman-Nya agar dimengerti manusia. Allah SWT pernah memilih bahasa Ibrani untuk firman-Nya dalam Taurat, dan memilih bahasa Suryani untuk firman-Nya dalam Injil, serta memilih bahasa Arab untuk firman-Nya dalam Al-Qur'an.
Aneka qiraat dalam pembacaan Al-Qur'an bukan disebabkan "Rasm Utsmani" yang tanpa titik dan harakat sehingga memungkinkan dibaca dengan beberapa bacaan, melainkan datang dari aneka bacaan yang disampaikan Nabi SAW kepada umatnya dari Allah SWT. Justru "Rasm Utsmani" itu dibuat mengikuti Bacaan Hafalan Al-Qur'an yang diajarkan Nabi SAW, tidak sebaliknya. Karenanya, walau pun suatu bacaan sudah sesuai "Rasm Utsmani" tapi jika tidak ada riwayat qiraatnya dari Nabi SAW secara mutawatir, maka tertolak dan tidak termasuk Al-Qur'an. Misalnya, Surat Al-Fatihah ayat keempat dibaca dengan dua qiraat yaitu "Maliki Yaumid Diin" dengan dipendekkan "miim"-nya dan "Maaliki Yaumid Diin" dengan dipanjangkan "miim"-nya. Kedua qiraat termasuk Al-Qur'an karena datang melalui periwayatan mutawatir dari Rasulullah SAW, bukan karena sesuai dengan "Rasm Utsmani". Jika ayat tersebut dibaca "Malaka Yaumad Diin" dengan fi'il dan maf'uul yang sekali pun sesuai "Rasm Utsmani" maka tetap tertolak, karena tidak ada riwayat mutawatir dari Nabi SAW tentang qiraat seperti itu.
Selain itu, Al-Qur'an bukan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab yang berlaku di kalangan masyarakat Jahiliyyah saat diturunkan, buktinya : Pertama, Al-Qur'an telah merubah kaidah dan karakteristik sejumlah kata dalam bahasa Arab, seperti kata "Karomah" yaitu "Kemuliaan" yang dalam masyarakat Jahiliyyah maknanya selalu dikaitkan dengan banyak isteri, anak dan harta serta kedudukan tinggi, namun Al-Qur'an merubahnya secara mendasar dan hanya mengaitkan maknanya dengan taqwa kepada Allah SWT sesuai firman-Nya dalam QS.49.Al-Hujuraat ayat 13 : "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu sekalian." Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak membuat makna baru yang saat itu tidak diakui oleh masyarakat Jahiliyyah.
Kedua, dalam Al-Qur'an terdapat "Huruf Muqoththo'ah" seperti Alif Laam Miim di awal Surat Al-Baqarah, yang semakin memastikan bahwasanya Al-Qur'an bukan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab, karena tak satu pun bangsa Arab sejak dulu hingga kini yang tahu dengan pasti makna huruf tersebut. Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak memuat "Huruf Muqoththo'ah" yang tidak dikenal oleh masyarakat Jahiliyyah.
Ketiga, dalam Al-Qur'an terdapat sejumlah kosa kata "asing" bagi masyarakat Arab ketika diturunkan, karena jarang digunakan atau sudah punah lalu menjadi bahasa bangsa lain atau memang murni kosa kata asing, seperti Abaariiq (Persia), Asfaar (Suryani) dan Araa-ik (Habasyi), sehingga Al-Qur'an menggunakannya kembali untuk menegaskan bahwa kosa kata tersebut sudah "diarabkan" atau memang asal-usulnya dari bahasa Arab. Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak memuat kosa kata "asing" yang tidak dipahami oleh masyarakat Jahiliyyah.
Nah, nyatanya dari dulu hingga kini Al-Qur'an tidak pernah tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab yang berlaku di masyarakat Jahiliyyah, sehingga Al-Qur'an bukan produk bahasa sebagaimana dikhayalkan kaum Liberal. Bahkan Al-Qur'an disepakati oleh Ulama Salaf mau pun Khalaf sebagai sumber rujukan bagi bahasa Arab yang paling fasih dan paling benar kaidahnya serta paling sempurna karakteristiknya.
AL-QUR'AN PRODUK SEJARAH ?
Kaum Liberal menilai bahwasanya Al-Qur'an yang diturunkan pada abad ke-7 Miladi, terikat kuat dengan realitas, budaya dan bahasa yang merupakan bagian daripada "Fenomena Historis" masa itu, sehingga Al-Qur'an hanya merupakan produk sejarah yang merekam situasi adat budaya masyarakat Arab di abad tersebut. Karenanya, ke depan Al-Qur'an perlu mengadaptasi dengan perkembangan sejarah selanjutnya. Ini pun bentuk lain dari "onani pemikiran" gaya Liberal.
Fakta membuktikan bahwasanya Al-Qur'an tidak terikat dan tidak dipengaruhi "Fenomena Historis" daripada realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab abad ke-7 Miladi. Buktinya, Al-Qur'an bukan hanya merekam sejarah di masa turunnya, tapi juga sejarah masa lalu di luar wilayah turunnya, bahkan masa akan datang yang jauh dari jangkauan realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab Jahiliyyah. Ratusan ayat Al-Qur'an mengisyaratkan secara menakjubkan berbagai informasi pengetahuan ilmiah yang faktanya baru terungkap di abad modern, seperti yang terkait Astronomi, Geologi, Biologi dan Embriologi. Jadi, Al-Qur'an bukan produk sejarah, bahkan bersifat Transhistoris yaitu melampaui historisitasnya sendiri.
Jadi, Al-Qur'an sebagai Mu'jizat terbesar akan selalu cocok dan sesuai untuk semua tempat dan zaman hingga Hari Akhir. Alhamdulillaah.
OTENTISITAS AL-QUR'AN
Onani pemikiran kaum Liberal yang menyatakan bahwasanya Al-Qur'an adalah teks yang merupakan produk budaya, bahasa dan sejarah, hanya merupakan bagian dari upaya jahat kaum Orientalis mau pun Oksidentalis untuk menanamkan keraguan terhadap kebenaran, kesucian dan keagungan Al-Qur'an. Namun otentisitas yaitu keautentikan dan keaslian Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT terlalu kokoh untuk digoyahkan dan terlalu sempurna untuk direndahkan, sehingga kaum Liberal tampak mulai kelelahan menyerang Al-Qur'an, bahkan banyak yang mulai gila karena tak dapat cara.
Allah SWT telah berjanji untuk senantiasa menjaga Al-Qur'an sesuai firman-Nya dalam QS.15.Al-Hijr : 9. Salah satu cara Allah SWT menjaga Al-Qur'an adalah dengan mengaruniakan para hamba-Nya kemampuan menghafal Al-Qur'an. Di zaman sekarang ada jutaan umat Islam di dunia yang hafal Al-Qur'an, di Indonesia saja tidak kurang dari seratus ribu santri berbagai pondok pesantren Tahfizhul Qur'an yang hafal Al-Qur'an. Karenanya, jangankan memalsukan Al-Qur'an, bahkan salah cetak saja suatu Mush-haf Al-Qur'an dengan mudah dan cepat bisa terungkap. Subhaanallaah.
Kepada generasi muda Islam yang ingin lebih luas dan matang mengetahui kebobrokan dan kejahatan pemikiran Liberal, penulis menyarankan untuk mau membaca lebih banyak buku-buku karya para cendikiawan muda kita yang secara cerdas, tegas dan lugas mengkritisi pemikiran-pemikiran sesat kaum Liberal, seperti buku-buku : Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur'an (DR. Adnin Armas), Tren Pluralisme Agama (DR. Anis Malik Thoha), Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (DR. Syamsuddin Arif), Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam (DR. Adian Husaini) dan Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Fahmi Salim MA), yang semuanya diterbitkan oleh Gema Insani Pers - Jakarta. Dan sangat bagus serta manfaat jika generasi muda Islam secara aktif mengikuti workshop mau pun dialog-dialog yang digelar kawan-kawan dari INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization) yang dinakhodai oleh DR. Hamid Fahmi Zarkasyi. Mereka adalah para cendikiawan muda muslim Indonesia yang harus kita dukung dan sokong perjuangannya dalam membentengi umat Islam dari segala pengaruh pemikiran Liberal yang sesat dan menyesatkan.
Selamat berjuang ..... Ayo, Ganyang Liberal ! Allahu Akbar !
Habib Rizieq Shihab
Source : Suara-Islam.com
LIBERAL DAN MU'TAZILAH
Kaum Liberal sering mengklaim bahwa mereka pengagum sekaligus pengikut Mu'tazilah. Kaum Liberal menganggap bahwa mereka dengan Mu'tazilah adalah kelompok yang sangat moderat, karena selalu mengedepankan nalar dan logika yang sehat. Pendapat Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an adalah "makhluq" kerap dijadikan rujukan oleh Kaum Liberal untuk menjustifikasi pendapat mereka bahwa Al-Qur'an hanya sebuah teks yang merupakan produk budaya, bahasa dan sejarah.
Padahal, konsep "memakhluqkan" Al-Qur'an milik Mu'tazilah tidak sama dengan konsep "memakhluqkan" Al-Qur'an milik Liberal, bahkan berbanding terbalik. Tatkala Mu'tazilah memakhluqkan Al-Qur'an sebagai "ciptaan", mereka menisbahkannya kepada Allah SWT, sehingga pengertiannya bahwa Al-Qur'an adalah makhluq ciptaan Allah SWT. Dasar pemikiran Mu'tazilah sangat sederhana dengan logika biasa yaitu bahwa selain Tuhan adalah makhluq, sehingga karena Al-Qur'an bukan Tuhan maka berarti ia makhluq. Dengan demikian, menurut Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an tetap datang dari Allah SWT, bukan datang dari buatan manusia.
Sedang Liberal tatkala memakhluqkan Al-Qur'an sebagai "ciptaan", mereka menisbahkannya kepada Muhammad, sehingga pengertiannya bahwa Al-Qur'an adalah makhluq ciptaan Muhammad. Dasar pemikiran Liberal tidak sederhana, tapi "ngejelimet" berbelat-belit, putar balik hujjah, bukan dengan logika tapi khayalan, kocok sana kocok sini, sehingga lebih tepat disebut sebagai "Onani Pemikiran". Puncratan onani pemikirannya pun menjijikkan yaitu bahwa "Al-Qur'an buatan manusia." Astaghfirullaah.
Jadi, jelas sekali bahwa Liberal bukan Mu'tazilah, secuil pun tidak sama dengan Mu'tazilah, bahkan terlalu "lebay" menyamakan keduanya. Mu'tazilah sepanjang zaman tetap mengagungkan Al-Qur'an sebagai "Wahyu Allah SWT", sedang Liberal secara terang-terangan menyerang dan menistakan Al-Qur'an.
Bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa "Mush-haf" Al-Qur'an yang terdiri dari kertas dan tinta memang makhluq, namun Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT tidak boleh disebut makhluq, karena itu merupakan Kalam dan Firman-Nya yang suci lagi agung. Bagi Ahlus Sunnah pendapat Mu'tazilah tentang "kemakhluqan" Al-Qur'an adalah bid'ah pemikiran, namun tidak ada Ahlus Sunnah yang mengkafirkan Mu'tazilah karena konsep tersebut. Sedang pendapat Liberal tentang "kemakhluqan" Al-Qur'an adalah "onani pemikiran" yang sesat dan menyesatkan, bahkan kafir dan keluar dari Islam.
AL-QUR'AN ADALAH TEKS ?
Menurut Kaum Liberal bahwa Al-Qur'an adalah dokumen tertulis (manuskrip) yang diwariskan Muhammad kepada umatnya, sehingga Al-Qur'an hanya merupakan "Teks" yang bisa dan harus diteliti otentisitasnya melalui penerapan metode-metode Filologi, seperti Historical Criticism, Textual Criticism, Literary Criticism, Form Criticism dan Redaction Criticism. Metodologi Filologi bagi Kaum Liberal adalah metodologi penelitian modern yang telah sukses diterapkan dalam studi kritis Bibel dan telah diakui banyak kalangan peneliti dan cendikiawan dari kalangan Yahudi, Nashrani mau pun Islam.
Masih menurut Kaum Liberal bahwa umat Islam sepatutnya mengikuti langkah Kaum Orientalis yang telah secara berani mengkritisi Bibel sebagai kitab suci mereka sendiri melalui Metodologi Hermeneutika. Kaum Liberal pun menyerukan umat Islam untuk melepaskan sikap fanatik ortodoks yang selalu menganggap Al-Qur'an sebagai kitab suci yang sangat sakral, sehingga tidak berani untuk melakukan studi kritis terhadap kitab suci. Inilah salah satu bukti "onani pemikiran" yang dilakukan kaum Liberal.
Bagi umat Islam, Al-Qur'an pada mulanya bukanlah "Teks" atau "Tulisan" tetapi merupakan "Bacaan" yang dihafal dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir. Proses pewahyuan, penyampaian, pengajaran dan periwayatan Al-Qur'an pada mulanya melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sedang penulisan Al-Qur'an hanya sebagai penunjang, itu pun pada mulanya "Tulisan" Al-Qur'an hanya bersandar kepada "Hafalan Bacaan", bukan sebaliknya.
Otentisitas Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT tidak diragukan sedikit pun. Walau pun penghimpunan penulisan Al-Qur'an secara utuh baru dilakukan di zaman Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, lalu disempurnakan zaman Sayyidina Utsman ibnu 'Affan RA, kemudian makin disempurnakan di zaman-zaman berikutnya hinga di era penerbitan dan percetakan laser sekarang ini, tapi tenggang waktu antara awal penurunan wahyu kepada Rasulullah SAW hingga penghimpunan penulisan wahyu tersebut tidak ada sedikit pun jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dari generasi ke generasi secara mutawatir, sehingga otentisitas Al-Qur'an sebagai wahyu tetap terjaga dan terpelihara. Alhamdulillaah.
Berbeda dengan Bibel misalnya, yang penghimpunan penulisannya dilaksanakan setelah ratusan tahun dari zaman Nabi 'Isa AS, dan sejak awal pewahyuan Injil kepada Nabi 'Isa AS hingga zaman penghimpunan penulisan telah terjadi jeda kekosongan penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dari generasi ke generasi. Sehingga penghimpunan penulisan Bibel hanya bersandar kepada "manuskrip" yang tertulis dalam bentuk papirus, skroll, dan sebagainya. Itulah sebabnya, penelitian manuskrip Bibel menjadi keniscayaan untuk membuktikan keasliannya. Itu pula sebabnya, kenapa para Orientalis tidak ada pilihan lain kecuali harus mengkritisi Bibel melalui Metodologi Hermeneutika untuk meneliti keasliannya.
Jadi, sumber penulisan Bibel adalah "Teks" sehingga bisa diterapkan metode-metode filologi untuk membuktikan keautentikannya, sedang sumber penulisan Al-Qur'an adalah "Bacaan" yang tidak mungkin diterapkan metode-metode filologi terhadapnya, bahkan mustahil karena keautentikan Al-Qur'an tak terbantahkan. Kesimpulannya, Hermeneutika dengan segala metode filologinya sudah tepat diterapkan dalam penelitian otentisitas Bibel yang akhirnya sukses membongkar kepalsuannya. Sedang jika Hermeneutika diterapkan terhadap Al-Qur'an maka salah alamat, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Prof. Josef van Ess, seorang Teolog di Universitas Tuebingen - Jerman : "Bahwa Hermeneutika yang berasal dari Jerman tidak ditujukan untuk kajian keislaman. Pada mulanya, ia meruapakan produk Teolog Protestan yang dipakai untuk kajian Bibel oleh Friedrich Schleiermacher, dan belakangan oleh Martin Heidedger dan Hans-Georg Gadamer dalam kajian kesusasteraan Jerman mau pun Klasik."
AL-QUR'AN PRODUK BUDAYA ?
Kaum Liberal menyatakan bahwasanya sejak awal Al-Qur'an diturunkan kepada Muhammad hingga wafatnya, selama lebih kurang 23 tahun, Al-Qur'an telah berinteraksi dengan merespon dan mengakomodir realitas dan budaya masyarakat Arab, sehingga Al-Qur' an tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan realitas dan budaya yang ada di masa itu. Karenanya, Al-Qur'an adalah "Teks" yang dilahirkan oleh realita dan diproduksi oleh budaya. Inilah bentuk lain "onani pemikiran" hasil khayalan kaum Liberal.
Andaikata Al-Qur'an produk budaya karena terbentuk dalam realitas dan budaya, maka semestinya Al-Qur'an menghalalkan apa yang dihalalkan masyarakat Arab Jahiliyyah tempat dimana Al-Qur'an diturunkan, seperti : kemusyrikan, perjudian, khamar, riba dan wa'dul Banaat (mengubur hidup-hidup anak perempuan). Namun kenyataannya, Al-Qur'an menentang dan mengharamkan itu semua. Justru masyarakat Arab Jahiliyyah memandang Al-Qur'an saat diturunkan sebagai sesuatu yang aneh dan asing, karena bertentangan dengan realita dan budaya mereka. Bahkan mereka menuduh Rasulullah SAW sebagai orang gila yang ingin melawan realita dan budaya yang sudah berurat berakar di tengah masyarakat Arab selama berabad-abad.
Jadi, Al-Qur'an bukan produk budaya Jahiliyyah atau produk budaya apa pun, karena Al-Qur'an bukan kesinambungan dari budaya mana pun ketika itu. Justru Al-Qur'an memproduk budaya baru yang mengharamkan segala bentuk kemusyrikan, kesesatan, kezaliman, kema'siatan dan kemunkaran. Al-Qur'an melahirkan budaya baru yang berakhlaqul karimah, terhormat dan bermartabat. Kesimpulannya, bukan Budaya yang jadi sumber Al-Qur'an, tapi sebaliknya justru Al-Qur'an yang jadi sumber budaya agung dan luhur. Inilah faktanya, bukan khayalan yang mendorong "onani pemikiran" sebagaimana yang dilakukan kaum Liberal.
AL-QUR'AN PRODUK BAHASA ?
Kaum Liberal berkhayal bahwa Tuhan punya bahasa tersendiri yang tidak dipahami manusia, sedang bahasa Arab adalah bahasa manusia bukan bahasa Tuhan. Lucunya, kaum Liberal sendiri tidak pernah tahu bahasa apa dan bagaimana yang mereka maksud dengan bahasa Tuhan. Lalu dari onani khayalan tersebut, kaum Liberal menyatakan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an dengan bahasa Tuhan yang tidak dipahami manusia, lalu Muhammad menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab agar dipahami oleh manusia.
Karenanya, kaum Liberal meyakini adanya intervensi bahasa manusia dalam pembentukan Al-Qur'an, apalagi penulisan Al-Qur'an dalam bentuk "Rasm Utsmani" memungkinkan dibaca dengan beberapa bacaan (qiraat), sehingga Al-Qur'an menjadi "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa tersebut, baik lisan mau pun tulisan.
Dalam aqidah umat Islam bahwasanya Allah SWT Maha Berkehendak, dan dengan bahasa mau pun tanpa bahasa, kehendak Allah SWT pasti berlaku. Allah SWT tidak membutuhkan bahasa, karena bahasa adalah makhluq ciptaan-Nya dan Allah SWT tidak bergantung kepada makhluq ciptaan-Nya. Allah SWT telah berkehendak menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab untuk menyampaikan aturan-Nya kepada umat manusia agar dipatuhi dan ditaati. Dan Al-Qur'an sejak awal diturunkan kepada Rasulullah SAW sudah berbahasa Arab sesuai dengan kehendak Allah SWT yang berada di atas segala kehendak, sehingga tidak ada intervensi bahasa manusia mana pun terhadap Al-Qur'an sebagaimana dikhayalkan kaum Liberal.
Jadi, Allah SWT lah yang telah menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab, bukan Rasulullah SAW yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab, sebagaimana termaktub dalam QS.12.Yusuf : 2, QS.20.Thoha : 113, QS.39.Az-Zumar : 28, QS.41.Fushshilat : 3, QS.42.Asy-Syura : 7 dan QS.43.Az-Zukhruf : 3. Semua bahasa adalah ciptaan Allah SWT, dan Dia SWT berhak untuk menentukan bahasa mana yang dipilihnya sebagai bahasa pengantar firman-Nya agar dimengerti manusia. Allah SWT pernah memilih bahasa Ibrani untuk firman-Nya dalam Taurat, dan memilih bahasa Suryani untuk firman-Nya dalam Injil, serta memilih bahasa Arab untuk firman-Nya dalam Al-Qur'an.
Aneka qiraat dalam pembacaan Al-Qur'an bukan disebabkan "Rasm Utsmani" yang tanpa titik dan harakat sehingga memungkinkan dibaca dengan beberapa bacaan, melainkan datang dari aneka bacaan yang disampaikan Nabi SAW kepada umatnya dari Allah SWT. Justru "Rasm Utsmani" itu dibuat mengikuti Bacaan Hafalan Al-Qur'an yang diajarkan Nabi SAW, tidak sebaliknya. Karenanya, walau pun suatu bacaan sudah sesuai "Rasm Utsmani" tapi jika tidak ada riwayat qiraatnya dari Nabi SAW secara mutawatir, maka tertolak dan tidak termasuk Al-Qur'an. Misalnya, Surat Al-Fatihah ayat keempat dibaca dengan dua qiraat yaitu "Maliki Yaumid Diin" dengan dipendekkan "miim"-nya dan "Maaliki Yaumid Diin" dengan dipanjangkan "miim"-nya. Kedua qiraat termasuk Al-Qur'an karena datang melalui periwayatan mutawatir dari Rasulullah SAW, bukan karena sesuai dengan "Rasm Utsmani". Jika ayat tersebut dibaca "Malaka Yaumad Diin" dengan fi'il dan maf'uul yang sekali pun sesuai "Rasm Utsmani" maka tetap tertolak, karena tidak ada riwayat mutawatir dari Nabi SAW tentang qiraat seperti itu.
Selain itu, Al-Qur'an bukan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab yang berlaku di kalangan masyarakat Jahiliyyah saat diturunkan, buktinya : Pertama, Al-Qur'an telah merubah kaidah dan karakteristik sejumlah kata dalam bahasa Arab, seperti kata "Karomah" yaitu "Kemuliaan" yang dalam masyarakat Jahiliyyah maknanya selalu dikaitkan dengan banyak isteri, anak dan harta serta kedudukan tinggi, namun Al-Qur'an merubahnya secara mendasar dan hanya mengaitkan maknanya dengan taqwa kepada Allah SWT sesuai firman-Nya dalam QS.49.Al-Hujuraat ayat 13 : "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu sekalian." Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak membuat makna baru yang saat itu tidak diakui oleh masyarakat Jahiliyyah.
Kedua, dalam Al-Qur'an terdapat "Huruf Muqoththo'ah" seperti Alif Laam Miim di awal Surat Al-Baqarah, yang semakin memastikan bahwasanya Al-Qur'an bukan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab, karena tak satu pun bangsa Arab sejak dulu hingga kini yang tahu dengan pasti makna huruf tersebut. Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak memuat "Huruf Muqoththo'ah" yang tidak dikenal oleh masyarakat Jahiliyyah.
Ketiga, dalam Al-Qur'an terdapat sejumlah kosa kata "asing" bagi masyarakat Arab ketika diturunkan, karena jarang digunakan atau sudah punah lalu menjadi bahasa bangsa lain atau memang murni kosa kata asing, seperti Abaariiq (Persia), Asfaar (Suryani) dan Araa-ik (Habasyi), sehingga Al-Qur'an menggunakannya kembali untuk menegaskan bahwa kosa kata tersebut sudah "diarabkan" atau memang asal-usulnya dari bahasa Arab. Jika Al-Qur'an merupakan "Teks Bahasa" yang tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab di zaman diturunkan, maka mestinya Al-Qur'an tidak memuat kosa kata "asing" yang tidak dipahami oleh masyarakat Jahiliyyah.
Nah, nyatanya dari dulu hingga kini Al-Qur'an tidak pernah tunduk kepada kaidah dan karakteristik bahasa Arab yang berlaku di masyarakat Jahiliyyah, sehingga Al-Qur'an bukan produk bahasa sebagaimana dikhayalkan kaum Liberal. Bahkan Al-Qur'an disepakati oleh Ulama Salaf mau pun Khalaf sebagai sumber rujukan bagi bahasa Arab yang paling fasih dan paling benar kaidahnya serta paling sempurna karakteristiknya.
AL-QUR'AN PRODUK SEJARAH ?
Kaum Liberal menilai bahwasanya Al-Qur'an yang diturunkan pada abad ke-7 Miladi, terikat kuat dengan realitas, budaya dan bahasa yang merupakan bagian daripada "Fenomena Historis" masa itu, sehingga Al-Qur'an hanya merupakan produk sejarah yang merekam situasi adat budaya masyarakat Arab di abad tersebut. Karenanya, ke depan Al-Qur'an perlu mengadaptasi dengan perkembangan sejarah selanjutnya. Ini pun bentuk lain dari "onani pemikiran" gaya Liberal.
Fakta membuktikan bahwasanya Al-Qur'an tidak terikat dan tidak dipengaruhi "Fenomena Historis" daripada realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab abad ke-7 Miladi. Buktinya, Al-Qur'an bukan hanya merekam sejarah di masa turunnya, tapi juga sejarah masa lalu di luar wilayah turunnya, bahkan masa akan datang yang jauh dari jangkauan realitas, budaya dan bahasa masyarakat Arab Jahiliyyah. Ratusan ayat Al-Qur'an mengisyaratkan secara menakjubkan berbagai informasi pengetahuan ilmiah yang faktanya baru terungkap di abad modern, seperti yang terkait Astronomi, Geologi, Biologi dan Embriologi. Jadi, Al-Qur'an bukan produk sejarah, bahkan bersifat Transhistoris yaitu melampaui historisitasnya sendiri.
Jadi, Al-Qur'an sebagai Mu'jizat terbesar akan selalu cocok dan sesuai untuk semua tempat dan zaman hingga Hari Akhir. Alhamdulillaah.
OTENTISITAS AL-QUR'AN
Onani pemikiran kaum Liberal yang menyatakan bahwasanya Al-Qur'an adalah teks yang merupakan produk budaya, bahasa dan sejarah, hanya merupakan bagian dari upaya jahat kaum Orientalis mau pun Oksidentalis untuk menanamkan keraguan terhadap kebenaran, kesucian dan keagungan Al-Qur'an. Namun otentisitas yaitu keautentikan dan keaslian Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT terlalu kokoh untuk digoyahkan dan terlalu sempurna untuk direndahkan, sehingga kaum Liberal tampak mulai kelelahan menyerang Al-Qur'an, bahkan banyak yang mulai gila karena tak dapat cara.
Allah SWT telah berjanji untuk senantiasa menjaga Al-Qur'an sesuai firman-Nya dalam QS.15.Al-Hijr : 9. Salah satu cara Allah SWT menjaga Al-Qur'an adalah dengan mengaruniakan para hamba-Nya kemampuan menghafal Al-Qur'an. Di zaman sekarang ada jutaan umat Islam di dunia yang hafal Al-Qur'an, di Indonesia saja tidak kurang dari seratus ribu santri berbagai pondok pesantren Tahfizhul Qur'an yang hafal Al-Qur'an. Karenanya, jangankan memalsukan Al-Qur'an, bahkan salah cetak saja suatu Mush-haf Al-Qur'an dengan mudah dan cepat bisa terungkap. Subhaanallaah.
Kepada generasi muda Islam yang ingin lebih luas dan matang mengetahui kebobrokan dan kejahatan pemikiran Liberal, penulis menyarankan untuk mau membaca lebih banyak buku-buku karya para cendikiawan muda kita yang secara cerdas, tegas dan lugas mengkritisi pemikiran-pemikiran sesat kaum Liberal, seperti buku-buku : Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur'an (DR. Adnin Armas), Tren Pluralisme Agama (DR. Anis Malik Thoha), Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (DR. Syamsuddin Arif), Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam (DR. Adian Husaini) dan Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Fahmi Salim MA), yang semuanya diterbitkan oleh Gema Insani Pers - Jakarta. Dan sangat bagus serta manfaat jika generasi muda Islam secara aktif mengikuti workshop mau pun dialog-dialog yang digelar kawan-kawan dari INSISTS (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilization) yang dinakhodai oleh DR. Hamid Fahmi Zarkasyi. Mereka adalah para cendikiawan muda muslim Indonesia yang harus kita dukung dan sokong perjuangannya dalam membentengi umat Islam dari segala pengaruh pemikiran Liberal yang sesat dan menyesatkan.
Selamat berjuang ..... Ayo, Ganyang Liberal ! Allahu Akbar !
Habib Rizieq Shihab
Source : Suara-Islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar