Tausiyah Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (10)

Tausiyah Ustadz Abu Bakar Ba'asyir (10)

SIKAP ORANG BERIMAN BILA TERPAKSA HIDUP DI BAWAH PEMERINTAHAN YANG DIPIMPIN OLEH ORANG KAFIR ATAU OLEH ORANG SEKULER (THOGHUT)

Apabila orang beriman terpaksa hidup dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh orang Kafir atau oleh kaum Sekuler, maka ia harus menentukan sikap seperti yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul Nya agar ia selamat dari diseret kepada kegelapan hidup di dunia dan ke neraka di akherat. Sikap tersebut ialah:

Ia harus menentangnya, bila ada kemampuan menentang dengan tangan, yakni menekannya atau kalau mampu menurunkannya dan menggantinya dengan pemimpin yang bersedia melaksanakan Syariat Islam secara Kaaffah.

Apabila belum mampu menentang dengan tangan, maka ia wajib menentang dengan lisannya. Yakni yang Kafir didakwahi supaya memeluk Islam dan yang Sekuler dinasehati supaya bertaubat agar menjadi muslim yang benar dan bersedia melaksanakan Syariat Islam secara Kaffah dalam negara yang dipimpinnya. Kalau tidak bersedia mereka dihukumi murtad.

Bila belum mampu dengan lisan, ia harus menentang dengan hatinya, yang pelaksanaannya menjauhi dan tidak membantunya, kalau mampu dengan cara berhijrah ke negara yang telah berlaku syariat Islam secara kaffah kalau tidak mampu berhijrah agar berusaha uzlah dari masyarakat jahiliyah.

Karena pada kakekatnya pemimpin Kafir dan Sekuler program kepemimpinannya pasti mungkar, maka harus dilawan meskipun hanya mampu dengan hati.

Ketiga sikap untuk melewan kemungkaran ini diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam  sabdanya:

“Barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tanganya, maka jika ia belum mampu hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan jika ia juga masih belum mampu maka ia harus menentang dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim).

Apabila tidak ada perlawanan meskipun hanya dengan hati maka berarti tidak ada iman yakni mukmin yang tidak melawan kemungkaran meskipun hanya dengan hati maka ia murtad. Hal ini diterangkan dalam riwayat dibawah ini:

“Tidak seorang nabi pun yang dibangkitkan oleh Allah pada suatu umat sebelum aku kecuali beliau mempunyai pengikut setia dan sahabat-sahabat yang taat dari umatnya. Mereka selalu mengamalkan sunnahnya dan mengikut perintahnya. Kemudian muncul sesudah mereka suatu generasi yang bercakap tentang sesuatu tetapi tidak diamalkannya dan mengamalkan sesuatu yang tidak diperintah. Maka barang siapa melawan mereka dengan tangannya, ia adalah seorang mukmin, dan barang siapa melawan mereka dengan lisannya ia juga masih seorang mukmin, dan barang siapa melawan mereka dengan hatinya ia juga seorang mukmin. Dan selain ketiga sikap itu (tidak ada perlawanan meskipun hanya dengan hati) menunjukkan tidak ada iman sedikitpun dihatinya”. (HR Muslim).

Melawan dengan hati harus ditunjukkan sedapat mungkin dengan sikap: Menjauhinya dan tidak membantunya. Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah saja dan jauhilah thoghut itu ... “ (An Nahl : 36)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas jelas bahwa setiap Rasul memerintahkan kepada umatnya agar supaya selalu menjauhi Thoghut (kepemimpinan Kafir dan Sekuler). Mengingkarinya dan tidak mengakui eksistensinya.

Dan juga diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Tidak ada paksaan untuk masuk Dinul Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thoughut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al Baqaraah : 256)

Dan firman Nya lagi:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu dan syeitan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisaa : 60)

Keterangan:

Dua ayat tersebut jelas menerangkan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar mengingkari Thoghut dan tidak berhakim kepadanya, bahkan Iman seseorang kepada Allah SWT tidak syah kalau dia tidak bersedia mengkafiri dan mengingkari Thoghut (Kafir dan kaum Sekuler).

Mengamalkan Syariat Islam menurut kemampuan terutama dalam menyelesaikan perselisihan dan menghukum pelanggaran-pelanggaran Syariat dengan cara mengangkat Ulama yang dipercaya untuk menjadi Hakim dalam mengadili persoalan ini. Untuk lebih jelasnya dalam hal ini saya kutipkan secara lengkap pembahasan seorang ulama Shyeik Abdul Aziz bin Abdul Kadir dalam kitab beliau: AL - JAMI FI THOLABIL ‘ILMISY SYARIIF. Dalam judul: Wajib Berhukum Kepada Syariat, beliau berkata sebagai berikut: ‘Tata cara bertahkim kepada Syariat Islam di dalam negara yang diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Kafir’.

Di dalam negara yang diperintah dengan menggunakan undang-undang ciptaan manusia yang bertentangan dengan Syariat Islam, kaum Muslimin wajib berhukum kepada Syariat Islam semampunya.

Karena Allah SWT berfirman:

 “Maka demi Rabb mu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan ..... ” (An Nisaa’ : 65)

Dan firman Nya lagi:

 “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian ....” (At Taghaabun : 16)

Disini ada empat pembahasan: Siapa yang wajib melaksanakannya? Ciri orang yang dijadikan Hakam? Masalah apa saja yang diperbolehkan dalam bertahkim? Dan haramnya menolak untuk berhukum pada Syariat.

1. Siapa yang wajib untuk bertahkim?

Tidak samar lagi bahwa hal ini hukumnya adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim jika ia menghadapi permasalahan yang mengharuskan untuk berhukum kepada Syariat. Karena sesungguhnya permasalahan ini merupakan Ashlul Iman (pokok keimann), sebagaimana saya katakan diatas. Akan tetapi disini saya ingin mengingatkan kewajiban-kewajiban para pemimpin jama’ah-jama’ah atau organisasi-organisasi Islam yang bermacam-macam tentang permasalahan ini, karena Rasulullah SAW bersabda:

“Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua bertanggung jawab terhadap pengikutnya” (Muttafaq ‘Alaih)

Maka para pemimpin jama’ah-jama’ah tersebut harus mewajibkan kepada para pengikutnya untuk melaksanakan kewajiban syar’i ini. Dan ikatan (bai’at) jama’ah-jama’ah ini diantara isinya harus ada pernyataan semacam ini. Dengan demikian kewajiban untuk berhukum bagi anggota jamaah itu ditinjau dari tiga sisi.

Pertama: Wajib secara syar’i, berdasarkan firman Allah SWT:

 “Maka demi rabbmu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan ........”. (An Nisaa’ : 65)

Kedua: Wajib karena perjanjian berdasarkan firman Allah SWT:

 “ ....... dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya” (Al Israa’ : 34)



Ketiga: Wajib karena perintah pimpinan jama’ah, berdasarkan firman Allah SWT:

 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya dan ulil amri diantara kamu .......” (An Nisaa’ : 59)

Kewajiban para pemimpin untuk memerintahkan pengikutnya ini juga menjadi kewajiban bagi setiap orang yang ditaati, seperti orang yang dituakan dan pemuka di berbagai suku bangsa dan orang-orang yang semacam ini.

2. Ciri-ciri orang yang dijadikan Hakam (pemutus perkara).

Yang dijadikan sebagai Hakam adalah orang yang terbaik, kemudian orang setelahnya. Pada asalnya hendaknya hakim itu seorang Mujtahid, berdasarkan Hadist Marfu’ amr bin Al ‘Ash yang bunyinya:

“Jika seorang hakim memutuskan perkara lalu ia berijtihad dan ijtihad itu benar ...” (Muttafak ‘Alaih)

Jika tidak terdapat mujtahid, maka bertahkim kepada muqallid atau tholibul ‘ilmi (pelajar), sebagaimana yang telah lalu dalam perkataan Al Juwaini, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yang penjelasannya telah kami sebutkan dalam pembahasan tingkatan-tingkatan mufti pada bab V dalam kitab ini (Al Jami’).

Sampai-sampai Al Qodhi Burhanuddin bin Farhun mengatakan: “Al Lakhmi mengatakan; bahwasanya bertahkim itu diperbolehkan jika orang yang menjadi hakam itu adil (bisa dipercaya) orang yang mampu berijtihat atau orang awam yang meminta petunjuk kepada ulama. Namun jika orang awam tersebut tidak meminta petunjuk kepada ulama, maka keputusannya tertolak meskipun keputusannya itu sesuai dengan perkataan ulama, karena hal itu membahayakan dan penipuan” (Tab Shirotul Hukkam I / 63).
Maka bertahkim itu harus kepada orang yang terbaik, lalu kalau tidak ada maka orang yang setingkat dibawahnya. Dan tidak boleh meninggalkan kewajiban ini selama masih memungkinkan untuk melaksanakan. Maka ini adalah tanggung jawab besar yang ditanggung oleh kaum Muslimin secara umum dan para pemimpin khususnya seperti pimpinan jama’ah dan organisasi Islam untuk mengadakan sejumlah orang yang mencukupi dan mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara di kalangan kaum Muslimin. Maka kewajiban orang yang mempunyai kelebihan dalam tholabul ‘ilmi (belajar) hendaknya ia menekuni pelajaran fiqh dan ilmu-ilmu sarana yang tersedia untuknya, sampai dia mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara di kalangan kaum Muslimin. Dan saya telah sebutkan dalam pembahasaan-pembahasan terdahulu, apa-apa yang dapat membantu dalam belajar. Dan para pemimpin jamaah wajib untuk mengutus orang-orang yang mempunyai ciri-ciri yang seperti ini untuk tholabul ‘ilmi (belajar) dan menanggungnya secara materi, supaya dia berkonsentrasi dalam masalah ini.

3. Masalah yang diperbolehkan untuk bertahkim.

Pendapat kuat yang berlandaskan dalil adalah bahwasanya tahkim itu diperbolehkan dalam segala urusan, dan dalilnya adalah:

a. Hadist Abu Syuroih – yang telah disebutkan diatas dalam perkataan Ibnu Qudamah dan Ibnu Dloyyan – “Bahwsanya dia berkata kepada Nabi SAW: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaumku jika berselisih pendapat pada masalah apa saja mereka datang kepadaku, maka saya putuskan permasalahan mereka dan kedua belah pihak rela dengan keputusanku’. Maka Rasulullah mengatakan :’Alangkah baiknya ini”. (Al Hadist).

Perkataannya yang berbunyi: ‘... Jika berselisih pendapat pada masalah apa saja ...” adalah sighoh (bentuk kalimat) yang bersifat umum yang mencakup segala yang diperselisihkan, karena ini adalah kata benda nakhiroh (Syai’) dalam kalimat syarat (idla).

b. Dalil yang lain adalah bertahkimnya orang Yahudi kepada Nabi SAW dalam hukuman rajam, dan berlakunya keputusan Beliau atas mereka, sebagaimana yang telah lalu pada perkataan Abu Bakar Ibnul ‘Arabi.

Dengan demikian maka tahkim itu diperbolehkan dalam semua masalah yang terjadi dikalangan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di negara yang diperintah dengan menggunakan hukum Kafir dan tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali pada apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah di akhir perkataan beliau diatas: ‘Pada dasarnya kewajiban-kewajiban ini dilaksanakan dengan cara yang terbaik. Jika kewajiban ini memungkinkan untuk dilaksanakan bersama seorang Amir maka tidak membutuhkan lagi kepada orang lain, dan apabila tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh beberapa orang dan tanpa penguasa maka kewajiban itupun dilaksanakan dan jika dalam pelaksanaannya itu tidak menimbulkan kerusakan melebihi kerusakan yang ditimbulkan oleh terabaikannya kewajiban itu’. (Majmu’ fatawa XXXIV / 176).

Jika tidak mampu bertahkim  pada masalah hukum Hudud dan Qishash, atau jika tahkim dalam masalah Hudud dan Qishash akan menimbulkan kerusakan, maka hendaknya tahkim tetap dilaksanakan dalam masalah harta, hak, pernikahan dan lain-lain. Dan semua ini masuk kedalam kaidah bertaqwa kepada Allah SWT sesuai dengan kemampuan seorang hamba dan masuk dalam kaidah yang berbunyi: ‘Sesuatu yang mudah itu tidak bisa dibatalkan karena sesuatu yang sulit’.

Shyeik Izzudin bin Abdus Salam menjelaskan: “Sesungguhnya orang yang diperintahkan suatu ketaatan, lalu ia hanya bisa melaksanakan sebagiannya dan tidak mampu melaksanakan sebagian yang lainnya, maka hendaknya dia melaksanakan yang ia mampu laksanakan dan gugurlah kewajiban yang tidak mampu ia laksanakan”. (Qowa’idul Ahkam II / 6 – 19).

Kaidah ini disimpulkan dari firman Allah SWT:

 “ Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian ...... ”. (At Thaghaabun: 16)

Dan dari sabda Rasululah SAW:

“Dan apa yang ku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan diantara yang masuk dalam kemampuan adalah mengeluarkan zakat, meskipun pemerintah meniadakannya, membayar diyat (denda) pada nyawa dan luka, melaksanakan Khafaroh meskipun hal itu tidak diputuskan dalam pengadilan Kafir dan keharaman Riba’. Dan termasuk dalam hal ini adalah memperhatikan nilai tukar uang dalam peminjaman dan jual-beli yang menggunakan tempo karena nilai tukar uang itu sering berubah-ubah. Dan sering sekali nilai tukar uang itu berkurang. Dalam istilah perekonomian hal ini disebut sebagai inflasi yang sering dipermainkan oleh pemerintah yang dholim pada nilai uang logam dan uang kertas, dengan mengurangi nilainya, ini merupakan penipuan yang keji terhadap rakyat.

Maka seharusnya yang dijadikan landasan dalam berumalah ada dua mata uang yang diakui dalam Syariat (emas dan perak). Misalnya, kamu pada hari ini pinjam pada seseorang 1000 liroh (di Indonesia rupiah) sedang harga satu gram emas pada hari ini adalah 100 liroh. Dengan demikian maka kamu memberikan pinjaman kepadanya 10 gram emas. Jika masa pinjaman itu satu tahun, sedangkan harga emas setelah satu tahun 200 liroh, dan kamu mengembalikan kepadanya uang 1000 liroh berarti kamu mengembalikan uang kepadanya 5 gram dan kamu telah mendholiminya dengan kedholiman yang keji.

Seharusnya kamu mengembalikan kepadanya 2000 liroh. Begitu pula sebaliknya jika nilai tukar bertambah maka kamu mengembalikannya dengan kurang dari 1000 liroh sebagaimana perhitungan diatas. Ini bukanlah termasuk bagian dari riba’, akan tetapi kembali kepada mata uang yang diakui secara syar’i.

Dan uang-uang tersebut nilainya tidak diakui secara syar’i kecuali dinilai dengan harga emas atau perak. Hal ini dilakukan oleh orang Islam ketika ia mau mengeluarkan zakat mal atau zakat barang dagangan dan perhitungan nishab dalam kasus pencurian. Perhitungan di atas tidak berlaku pada barang titipan, akan tetapi barang titipan itu dikembalikan sebagaimana ia dititipkan.

Syeikh Ahmad  Az Zarqo telah menyinggung masalah ini dalam kitabnya Al Qowa’id Al Fiqhiyyah dalam kaidah: “Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain”.

Dan beliau menisbahkan perkataan ini pada Al Qodli Abu Yusuf (Syarhul Qowa’id Al Fiqiyyah, karangan Syeikh Ahmad Az Zarqo, halaman 121 cet. Darul Maghrib Al Islami).

4. Haram untuk menolak berhukum pada Syariat

Tidak halal bagi siapapun yang diajak untuk berhukum kepada Syariat lalu ia berpaling darinya.

Sebagaimana firman Allah SWT:

“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu tunduk kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul’, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi manusia dengan sekuatnya dari mendekati kamu” (An Nisaa’ : 61)

Firman-Nya lagi:

“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul Nya agar Rasul mengadili diantara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk maslahatan mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah ketidakdatangan mereka itu karena dalam hati mereka ada penyakit, atau karena mereka ragu-ragu atau karena takut kalau-kalau Allah dan Rasul Nya berlaku dzolim kepada mereka, sebenarnya mereka itulah orang-orang yang dholim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (An Nuur 48-51).

Dan inilah yang senantiasa saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin. Dan saya berpendapat bahwasanya Allah tidak akan memberikan anugerah kepada kaum Muslimin dengan suatu hukum Islam, kecuali jika mereka berhukum kepada Syariat sesuai dengan kemampuan pada kondisi sekarang ini, jika mereka berusha melaksanakan hal ini.

Semoga Allah SWT memberikan janji-Nya sebagaimana firman-Nya:

....... Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri ...... ” (Ar Ra’du : 11)

Ada manfaat lainnya jika kaum Muslimin mau berhukum kepada Syariat yaitu tetap hidupnya Syariat ini baik secara ilmu maupun secara pengamalan dengan terlaksananya pengadilan Syar’i. Hal ini tidak sebagaimana yang diinginkan thoghut yang hendak mematikan Syariat dan orang-orang yang mengembannya. Dan semua ini akan menjadi permulaan bagi hukum Islam atas izin Allah SWT.

Sesungguhnya undang-undang thogut ini adalah Khuffur Akbar yang mana orang yang membuatnya orang yang menjalankanya, dan orang yang berhukum kepadanya dengan rela dan atas keinginannya mereka keluar dari Islam. Dan ini merupakan kemungkaran yang paling besar. Sedangkan selemah-lemah Iman adalah mengingkarinya dengan hati yang dalam hal ini mengharuskan untuk memboikot undang-undang tersebut, pengadilan-pengadilannya dan para hakimnya serta wajib berbarok terhadap mereka. Dan hendaknya menolak untuk sekolah di fakultas-fakultas hukum yang mempelajari undang-undang Kafir. Adapun pengingkaran dengan lisan diantaranya adalah dengan cara membahas masalah ini dan menyebarluaskannya di kalangan kaum Muslimin dan menyeru mereka untuk melaksanakannya. Adapun pengingkaran dengan tangan terhadap undang-undang Kafir ini dan terhadap pada pelaksanaannya dan yang mempertahankannya adalah dengan Jihadfisabilillah.

Allah SWT berfirman:

 “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnnya, kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja ...” (Al Mumtahaanah : 4)

Dan Allah SWT juga berfiman:

 “Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah ...........” (Al Anfaal : 39)

Inilah akhir pembahasan masalah Wujubut Tahaakum Ilasy Syarii’ah (Wajib untuk berhukum kepada Syariat). Wabillahi taufiq. Diterjemahkan dari kitab: Al Jamii’ fi Tholabil Imisy syariif XIV / 12 – 17) oleh Sheiyk Abdul Qadir bin Abdul Aziz penterjemah Abu Musa Al Masjun Fakkallahu Asroh.    

LP Cipinang 11 Shafar 1426 H / 27 Maret 2005.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top